Oleh Alif Alqausar
Zaman berubah, musim berganti. Mungkin itu analogi yang tepat untuk menggambarkan tren pernikahan dan mempunyai anak saat ini. Zaman dulu orang menikah untuk mempunyai banyak anak, mereka beranggapan, dengan banyak anak akan mendatangkan banyak rezeki pula.
Fenomena di atas selaras angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) yang menurun dalam satu dekade terakhir. Adapun TFR adalah rata-rata anak yang dilahirkan perempuan di masa produktifnya (15-49 tahun). Pada tahun 2022 TFR Indonesia 2,13, turun dibandingkan dengan tahun 2012 yang masih 2,51.
Kebanyakan masyarakat mengaitkan fenomena ini dengan tren biaya pernikahan, pembiayaan anak, hingga harga rumah yang kian mahal, yang tak diikuti oleh kenaikan pendapatan yang seimbang.
Keputusan untuk memiliki anak kini melibatkan pertimbangan bahwa dengan adanya anak, individu atau rumah tangga harus ”mengorbankan” sumber daya seperti alokasi waktu, biaya finansial, dan bahkan peluang karier. Dengan tren kian meningkatnya angka perempuan yang bekerja dan memulai karier, punya anak kini tak lagi dilihat sebagai investasi atau ”pekerja”, melainkan opportunity cost.
Jika sebelumnya anak dilihat sebagai investasi ekonomi yang memungkinkan adanya return melalui anak sebagai tenaga kerja dan penyedia dukungan keuangan bagi orangtua di masa tua (Todaro & Smith, 2020), maka kini anak tak lagi dilihat sebagai bentuk investasi.
Umumnya budaya “Banyak Anak Banyak Rejeki” yang berkembang di masyarakat memiliki arti bahwa setiap anak memiliki rezekinya masing – masing sehingga semakin banyak anak maka rezeki yang diterima oleh orang tua menjadi semakin banyak (Alayubi, 2018).
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat mempercayai bahwa nilai anak sebagai bantuan dalam hal ekonomi kelurga dan untuk membantu pekerjaan di rumah (A, Isebelle et al, 2005). Hal tersebut dapat memberi gambaran bahwa budaya “Banyak Anak Banyak Rejeki” berhubungan dengan nilai anak yang dianut oleh orang tua. Nilai yang dimaksud adalah anak dinilai dapat membantu secara finansial ketika orangtua sudah tua, membantu faktor psikologis orang tua ketika orang tua telah lanjut usia, membantu bisnis keluarga ketika keluarga memiliki bisnis sendiri, dapat membantu saudara yang lain, meneruskan silsilah keturunan keluarga, dan lainnnya (Buripakdi, 1977).
Selain hal yang disebutkan diatas, anak juga dilihat dari nilai cinta dan kebahagiaan. Mereka yang memiliki anak dapat memperoleh perasaan bahagia, perasaan dicintai oleh anak, dan senang melihat anak tumbuh juga berkembang (Kim, et al, 2005)
Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono, mengatakan, nilai anak menurut masyarakat kota yang identik dengan kelas menengah atas ditentukan dari bagaimana anak bertumbuh kembang dengan modal ekonomi, budaya, keterampilan, dan pengetahuan sekolah.Selama anak itu belum kerja, anak ini menjadi beban. Maka, menurut Drajat, masyarakat kota lebih mengutamakan kualitas dalam mendidik dan membesarkan anak.
Pemikiran di warga perdesaan berbeda. Menurut Drajat, Warga desa yang relatif identik dengan kelas bawah, lanjut Drajat, memandang banyaknya anak sebagai indikator kesejahteraan keluarga. Istilahnya, banyak anak banyak rezeki, lanjut Drajat.Anak-anak tersebut diajak kerja di sawah, sebagai tenaga kerja, sehingga anak dinilai bukan beban, melainkan menjadi penunjang produktivitas pekerjaan.
Fenomena ini menggambarkan perubahan nilai dan norma yang terjadi dalam masyarakat saat ini. Kondisi sosial yang berkembang juga memengaruhi pandangan pemuda terhadap pernikahan dan komitmen. Selain itu, Tingkat kesejahteraan juga berkontribusi pada banyaknya pemuda menunda pernikahan.
Pernikahan bagi banyak anak muda kini bukan lagi prioritas utama saat hidup sudah mapan. Jalan hidup yang biasanya belajar, bekerja. Akibatnya menikah dan memiliki anak semakin jauh dari pikiran mereka.
*) Penulis adalah mahasiswa komunikasi penyiaran Islam pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh
0 Komentar