Oleh Alif Alqausar
Kementerian Agama RI telah menetapkan Hari Raya Idul Adha 1446 H jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025. Idul Adha atau biasa disebut hari raya Kurban sering dijadikan momen bagi masyarakat Muslim yang mampu untuk menyembelih hewan kurban. Selain itu, momen ini disebut juga Lebaran Haji karena bertepatan dengan puncak ibadah haji, yaitu wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah.
Secara etimologis, kata ”kurban (qurban)” berasal dari bahasa Arab, artinya sesuatu yang dekat atau mendekatkan, yakni dekat dan mendekatkan diri kepada Allah yang memerintahkan ibadah ini. Kurban sering disebut udhhiyah atau dhahiyyah, artinya hewan sembelihan. Fisiknya hewan yang disembelih, tetapi hakikatnya ialah pengorbanan dan pengabdian diri sepenuh hati kepada Ilahi Rabbi (Haedar, 2025).
Secara lahiriah, setiap yang berkurban menyembelih hewan dan membagikannya kepada sesama maka yang bersangkutan berkurban kepada Allah dengan berani mengorbankan sesuatu yang dimilikinya untuk sesuatu yang lebih utama. Yaitu, semakin mendekatkan diri kepada Allah sekaligus berbuat kebajikan yang luhur atau ihsan kepada sesame umat.
Namun, suasana Idul Adha yang identik dengan hari raya kurban tahun ini tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Hal ini ditandai dengan penurunan drastis terhadap permintaan untuk ternak kurban selama liburan Idul Adha. Sejumlah pengamat menyebut, kondisi ini tidak lepas dari bayang-bayang perlambatan ekonomi yang turut memengaruhi jumlah pekurban.
Data dari Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) menunjukkan, jumlah pekurban pada 2025 diperkirakan hanya mencapai 1,92 juta orang membeli ternak kurban tahun ini, menandai penurunan 233.000 pembeli atau sekitar 12 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Angka ini bahkan lebih rendah daripada selama pandemi COVID-19, ketika lembaga tersebut melaporkan 2,11 juta pembeli pada tahun 2021 dan 2,17 juta pembeli pada tahun 2022.
Direktur pelaksana IDEAS Haryo Mojopahit mengaitkan penurunan tersebut dengan kelas menengah dan berpenghasilan tinggi yang menyusut, pembeli utama hewan kurban. “Pembelian hewan kurban skala besar selama Idul Adha sangat penting untuk pertumbuhan sektor peternakan negara. Sektor ini memberikan sumber pendapatan penting bagi masyarakat pedesaan dan bertindak sebagai pendorong utama ekonomi lokal,” katanya, Senin, seperti dilansir Antara.
Haryo menambahkan bahwa karena daging dari hewan
kurban sebagian besar didistribusikan kepada keluarga berpenghasilan rendah,
Idul Adha juga membantu mempersempit kesenjangan yang signifikan dalam konsumsi
daging merah antara rumah tangga berpenghasilan tinggi dan rendah. Data IDE 2024 mengungkapkan bahwa individu
dalam keluarga berpenghasilan tinggi mengkonsumsi rata-rata 4,17 kilogram
daging merah per tahun, sementara mereka yang berada di keluarga berpenghasilan
rendah hanya mengkonsumsi 0,009 kg per tahun.
Seiring menurunnya jumlah pekurban, potensi ekonomi kurban juga menyusut. IDEAS
mencatat proyeksi nilai ekonomi kurban tahun ini hanya sebesar Rp27,1 triliun,
turun lebih dari Rp1 triliun dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp28,2
triliun. Nilai itu bersumber dari hewan
kurban yang sebagian besar terdiri atas domba dan kambing (sekitar 1,1 juta
ekor), serta sapi dan kerbau (sekitar 503 ribu ekor). Jika dikonversi, jumlah
tersebut setara dengan 101,1 ribu ton daging yang dapat didistribusikan ke
mustahik atau orang yang berhak menerima daging kurban.
Anjloknya penjualan hewan kurban ini turut berimbas pada sektor peternakan. Momen Idul Adha biasanya menjadi “musim panen” bagi para peternak. Hasil penjualan pada periode ini biasanya digunakan peternak untuk bertahan selama satu tahun selanjutnya. Namun tahun ini, banyak di antaranya menghadapi lesunya permintaan. Akibatnya, sebagian peternak harus menjual hewan dengan harga murah karena rendahnya permintaan.
Idul Adha tahun mengingatkan kita bahwa di balik makna pengorbanan, ada tanggung jawab bersama untuk menjaga keberlanjutannya, baik sebagai ibadah maupun sebagai bentuk kepedulian sosial. Di tengah tantangan ekonomi, kurban tetap menyimpan potensi besar sebagai sarana penguatan ketahanan pangan dan pemerataan sosial. Untuk itu, pendekatan distribusi daging yang lebih merata serta program pemberdayaan peternak lokal perlu digalakkan. Kebijakan strategis diperlukan agar semangat berkurban tetap hidup dan memberi manfaat luas, meskipun dalam situasi ekonomi yang penuh tekanan.
Penulis
adalah Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam pada Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
0 Komentar