Oleh Alif Alqausar
Polemik perebutan empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) bukan lagi menjadi topik lokal semata, kisruh ini sudah menjalar ke tingkat nasional. Kabarnya, presiden Prabowo siap turun tangan untuk mengatasi persoalan ini. Keempat pulau tersebut diantaranya, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Tokong Belayar.
Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138/2025 pada 25 April 2025 yang menetapkan empat pulau sebagai bagian dari wilayah Sumut memicu kemarahan masyarakat Aceh. Mereka menilai keputusan itu mengabaikan sejarah, budaya, dan semangat perdamaian yang telah dibangun melalui MoU Helsinki 2005.
MoU Helsinki adalah kesepakatan damai yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Perjanjian ini memuat sejumlah kesepakatan strategis: GAM menghentikan tuntutan kemerdekaan dan menyerahkan senjata, sementara Pemerintah Indonesia memberikan Aceh kewenangan otonomi khusus yang luas, termasuk hak membentuk partai politik lokal, mengelola sumber daya alam, dan menjalankan pemerintahan sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai tokoh kunci dalam proses perdamaian Aceh, Jusuf Kalla menilai sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara sebagai masalah yang menyentuh harga diri dan martabat masyarakat Aceh. Ia menekankan bahwa perjanjian damai Helsinki 2005 harus dihormati, dan setiap keputusan terkait Aceh harus mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan.
Dalam konteks sengketa empat pulau tersebut, Kalla berharap pemerintah pusat
dapat melakukan kajian ulang dan melibatkan semua pihak terkait untuk mencapai
solusi yang adil dan menghormati kesepakatan damai yang telah dicapai
sebelumnya.
Sementara itu, Anggota DPD asal Aceh, Darwati A Gani, meminta pemerintah pusat agar tidak mengabaikan masalah kecil yang berpotensi memicu konflik lebih besar. Darwati mengingatkan betapa sulitnya proses perdamaian Aceh pascakonflik dahulu. Oleh karena itu, ia mengajak semua pihak untuk menjaga harmoni dengan penuh kehati-hatian. "Tidak mudah dulu itu mendamaikan konflik, mari kita syukuri dengan terus menjaga bersama dengan penuh kehati-hatian. Semoga NKRI tetap kokoh, semakin maju dengan penuh keadilan,” pesan ini disampaikan usai pertemuan Forbes DPR dan DPD RI asal Aceh dengan Gubernur Aceh.
Dengan melucuti pulau-pulau Aceh tanpa konsultasi, pemerintah pusat berisiko membuka kembali luka yang tidak pernah benar-benar sembuh. Aceh masih terluka akibat perjuangan bersenjata selama puluhan tahun untuk meraih kemerdekaan. GAM mungkin telah meletakkan senjatanya, tetapi keinginan untuk memperjuangkan keadilan dan martabat sejatinya tidak pernah luntur.
Secara politik, ketidakpekaan terhadap identitas lokal dan kesepakatan damai dapat membangkitkan kembali trauma kolektif. Aceh bukan provinsi lain, status kekhususannya lahir dari sejarah panjang konflik berkepanjangan yang hanya dapat diselesaikan melalui mekanisme kompromi dan rekonsiliasi. Melemahkan amanat MoU Helsinki, apapun alasannya , dapat membuka ruang ketidakpercayaan sebagian masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat.
Mengutip artikel “From Aceh to Papua, greed threatens the nation” (2025) Abdul Khalik menulis, Indonesia kembali berada di persimpangan jalan yang sudah tidak asing lagi. Tempat di mana keserakahan bertemu dengan kekuasaan, tempat suara masyarakat adat dibungkam dan tempat keputusan dibuat secara tertutup, lalu ditutup-tutupi untuk konsumsi nasional.
Menurut Abdul Khalik, sumber daya alam selama
puluhan tahun telah digunakan untuk memperkaya kaum elit di Jakarta sambil membiarkan
penduduk setempat hidup dalam kemiskinan, tanah mereka tercemar, dan tradisi
mereka dilupakan. Polanya sederhana: temukan tanah, eksploitasi, redam
perlawanan, beri penghargaan pada kroninya.
Persoalan batas wilayah untuk masyarakat Aceh bukan sekadar titik-titik di
peta. Ini adalah tanah yang dikelilingi oleh perairan yang mungkin kaya akan
sumber daya alam. Mengutip pernyataan Gubernur Aceh Muzakir Manaf, "Kenapa
sekarang berebut 4 pulau itu, tau nggak? Itu kandungan energi, kandungan gas
sama besar di Andaman. Itu permasalahannya," kata Mualem dalam sambutannya
saat melantik wali kota dan wakil wali kota Sabang di gedung utama DPRK Sabang
Sabtu (14/6/2025).
Indonesia dibangun atas dasar janji untuk bersikap adil, bersatu, berdaulat,
dan jujur. Dua dekade telah berlalu sejak penandatanganan Nota Kesepahaman
Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
pada 15 Agustus 2005. Perjanjian damai yang semula menjadi simbol keberhasilan
diplomasi pasca-konflik dan harapan baru bagi rakyat Aceh kini tengah
menghadapi ujian serius akibat status empat pulau di wilayah perbatasan
Aceh–Sumut .
Disaat-saat seperti ini Rakyat Aceh menanti seberapa besar komitmen negara terhadap perdamaian yang telah disepakati. Perlu diingat, ketika perjanjian damai diperlakukan seperti dokumen administratif belaka, maka yang tergerus bukan hanya norma hukum, tapi kepercayaan rakyat. Dan tanpa kepercayaan, tidak akan pernah ada perdamaian yang benar-benar utuh.
Penulis
adalah Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam pada Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
0 Komentar